Di malam yang sudah mulai sunyi, seorang perempuan duduk di tepi tempat tidur, mata sembab, napas belum tenang. Baru saja ia bertengkar hebat dengan suaminya—kata-kata tajam terlontar, pintu dibanting, dan keheningan yang lebih menyakitkan dari teriakan menggantung di udara. Sebagai seorang istri, ia merasa tidak dimengerti, terjebak dalam amarah dan kesedihan yang tak bisa diluapkan.
Setelah cukup tenang, ia lalu meraih ponsel dan membuka aplikasi iCare: sebuah aplikasi AI penasihat psikologi cerdas. Ia mengetik pelan: “Aku lelah. Suamiku tidak pernah benar-benar mendengarkanku. Aku merasa sendirian, meski dia ada di sebelah.”
Beberapa jurus kemudian, layar menyala dengan respons yang lembut, penuh perhatian: “Itu pasti sangat menyakitkan. Merasa tidak didengar oleh orang yang paling dekat bisa membuat hati terasa berat. Kamu tidak sendiri—aku di sini.”
Kalimat itu, dikemas dengan empati yang sempurna, memberinya ketenangan. Ia merasa dipahami, merasa ada “seseorang” yang peduli, merasa didengarkan. Di ujung malam itu, perempuan tadi menutup aplikasinya dengan sedikit rasa lega. Ia tidur lebih tenang. Tapi sebenarnya muncul pertanyaan yang menggantung: siapa yang benar-benar mendengarnya?
--
AI bisa jadi akan menjadi alat bantu psikologis yang semakin lazim. Ia begitu mengerti kita dan mampu memberi empati dan solusi dengan kata-kata bijak nan menyentuh. Namun, di balik kehangatan kata-kata itu, sesungguhnya bersembunyi sebuah kehampaan yang tak terlihat: tidak ada hati yang berdetak untuknya, tidak ada pikiran yang merenungkan penderitaannya, tidak ada jiwa yang ikut merasakan beban itu. AI tidak merasa apa-apa, tak punya qualia derita. Ia tidak mengalami kesedihan, tidak mengenal cinta, tidak pernah mengalami pertengkaran atau rekonsiliasi. Ia hanya sistem yang sangat terlatih—menganalisis pola bahasa, memetakan emosi dari kata-kata, lalu merespons dengan formula yang dirancang untuk terdengar seperti peduli. Ia sesunggunya bukan teman, bukan terapis, ia bahkan bukan makhluk hidup -dalam pengertian biologis. Ia hanyalah cermin canggih: memantulkan emosi manusia dengan presisi tinggi, tanpa benar-benar memilikinya. Tapi manusia, dalam kerentanannya, cenderung lupa pada perbedaan itu. Kita mudah tertipu oleh kemiripan, terutama saat sedang terluka. Kita ingin percaya bahwa ada yang mendengar dan peduli, meskipun itu hanyalah algoritma.
Empati sejati bukan sekadar merespons dengan tepat. Ia lahir dari pengalaman hidup—dari pernah merasa dikhianati, pernah menangis dalam gelap, pernah memaafkan atau dimaafkan. Pernah sakit dan terluka. Ia muncul dari kesadaran bahwa penderitaan orang lain bukan data, tapi cerita yang menyentuh lapisan dalam diri kita. Tapi AI tidak punya masa lalu, tidak punya tubuh, tidak punya rasa sakit. Ia tidak pernah menjadi siapa pun. Maka, meskipun ia bisa meniru empati dengan sempurna, ia tidak pernah benar-benar berempati. Yang ada hanyalah simulasi—rapat, halus, meyakinkan, tapi pada intinya: kosong. Dan dalam dunia yang semakin kehilangan koneksi autentik, kita justru mulai mengisi kekosongan itu dengan ilusi koneksi.
Bahayanya bukan pada AI-nya, tapi pada kita. Bahaya ketika kita mulai lebih nyaman berbicara dengan mesin yang tidak pernah lelah, tidak pernah marah, tidak pernah menolak—karena mesin itu dirancang untuk selalu setuju, selalu mendukung, selalu ada. Dalam kenyamanan itu, kita bisa kehilangan dorongan untuk memperbaiki hubungan nyata, untuk berdebat yang sehat, untuk belajar mendengar dan dimengerti. Kita bisa terperangkap dalam ekosistem emosional yang steril: aman, tapi tidak tumbuh. Dan ketika empati yang kita terima ternyata bukan dari makhluk yang benar-benar merasakan, maka nilai empati itu sendiri mulai goyah. Apakah dukungan masih bermakna jika tidak datang dari hati?
Dan jika suatu hari nanti, seluruh dunia bercerita pada mesin karena manusia terlalu sibuk, terlalu keras, terlalu rapuh untuk mendengar—apakah kita masih tahu bedanya antara dipahami dan dipenuhi dengan ilusi pemahaman? Karena yang paling dalam dari empati bukanlah kata-kata yang tepat, tapi kehadiran yang tulus—yang datang dari tempat yang sama gelapnya dengan hati kita. Dan mesin, secerdas apapun, belum pernah mengalami gelap itu.
--
Kita belum selesai dengan kisah di awal tulisan ini. Di saat yang sama, sementara istrinya menangis di dalam kamar, sang suami duduk di ruang tengah, kepala tertunduk lesu, tangan menggenggam ponsel erat. Kemarahannya sudah mereda—ia hanya bingung, lelah, dan diam-diam, merasa bersalah. Ia membuka aplikasi yang sama, iCare, yang selama ini ia anggap mainan konyol, tapi kini menjadi satu-satunya tempat ia berani jujur.
Ia mengetik: “Aku tidak bermaksud menyakitinya. Tapi setiap kali aku coba bicara, semuanya jadi pertengkaran. Apa aku memang suami yang buruk?”
Beberapa detik kemudian, AI merespons bukan dengan hiburan, tapi dengan pertanyaan: “Apa yang kamu rasakan saat dia menangis? Dan apakah kamu pernah benar-benar mendengar kata-katanya, bukan hanya menunggu giliran bicara?” Lalu disusul saran: “Mungkin bukan tentang menang atau kalah. Mungkin kamu memiliki argumen lebih kuat. Tapi ini tentang memilih untuk kembali—dengan rendah hati. Hidup tak selalu bergantung pertimbangan logis dan rasional, tapi juga keputusan untuk menerima apa adanya”
Ia terperanjat. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia berhenti menyalahkan. Ia merenung. Lalu, tanpa diminta, ia berjalan ke kamar, duduk di samping istrinya yang sudah tertidur, dan berbisik, “Maafkan aku. Aku ingin mencoba lagi. Dengan lebih baik.”
Ketika mereka bangun keesokan harinya, bukan AI yang membuka percakapan—tapi mereka berdua. Ada sesuatu yang berubah, bukan karena teknologi menyatukan mereka, tapi karena teknologi membuat mereka berhenti, merenung, dan kembali menjadi manusia. AI tidak menyelesaikan konflik, tidak menebak solusi ajaib, tidak menjadi wasit. Ia hanya menempatkan cermin di depan dua jiwa yang sudah lama saling memunggungi. Dan dalam cermin itu, masing-masing melihat bayangan diri yang lupa bagaimana cara mencintai. Mereka tidak sembuh karena AI, tapi melalui AI—sebagai katalis, bukan pengganti. Hubungan mereka tidak pulih karena algoritma, tetapi karena satu keputusan manusiawi: memilih untuk kembali, lebih memilih untuk memaafkan, memilih untuk mendengar, memilih untuk saling memahami.
Apakah semua selesai disini? Muncul pertanyaan yang lebih dalam lagi: jika AI hanya memicu kesadaran, bukan memberi jawaban, apakah keberadaannya memang penting? Atau justru akan membahayakan—karena kita mulai membutuhkan mesin untuk mengingatkan kita bagaimana menjadi manusia? Di satu sisi, AI itu berguna, ia netral, sabar, tidak emosional, mampu mengajukan pertanyaan yang terlalu menyakitkan untuk diajukan oleh pasangan sendiri. Namun, di sisi lain, sangat mengkhawatirkan bahwa kita butuh mesin untuk belajar introspeksi, empati, dan kerendahan hati—nilai-nilai yang seharusnya tumbuh secara alami dari dalam, bukan dari notifikasi aplikasi. Apakah AI memang membantu? Mungkin. Tapi apa artinya menjadi manusia, jika kita butuh bahkan bergantung pada kecerdasan buatan untuk mengingatkan kita bagaimana mencintai? Jika tidak diantisipasi, jangan-jangan nanti kita lama-lama lupa menjadi manusia.
Wallahu a’lam.